akhirnya milih juga

Akhirnya terjawab juga teka-teki siapa figur yang akan mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang.

Teka-teki yang telah berlangsung sejak pecah kongsi dengan wakil presiden incumbent Jusuf Kalla terjawab pada Selasa (12/5/2009) lalu. Merujuk keterangan yang dikemukakan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, SBY berketetapan hati memilih gubernur Bank Indonesia Boediono sebagai pendamping.



Masih dari keterangan Hatta, pilihan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat tersebut didasarkan pada pertimbangan: Boediono dinilai paling rendah resistensinya dibandingkan dengan calon wakil presiden lain, terutama nama-nama yang berasal dari partai politik.

Di samping itu, pilihan kepada Boediono juga dimaksudkan untuk menegakkan sistem presidensial. Dari kedua dasar penetapan itu, tepatkah argumentasi bahwa model pilihan atas Boediono menjadi pasangan SBY dimaksudkan untuk menegakkan atau memperkuat sistem presidensial?

Pilihan Strategis

Sejak semula banyak kalangan menduga bahwa tidak mudah bagi SBY memilih salah satu di antara nama calon wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik yang telah memberikan sinyal bergabung dengan Partai Demokrat. Salah satu kesulitan itu, suara sah secara nasional partai politik yang sejak semula mendukung SBY tidak jauh berbeda satu sama lain.

Namun, kesulitan terbesar memilih calon yang berasal dari partai politik lebih pada pengalaman SBY ketika berpasangan dengan Jusuf Kalla. Bagaimanapun, jika kembali menang dalam Pemilu Presiden/Wakil Presiden 2009, memilih calon dari luar Partai Demokrat berpotensi memicu konflik menghadapi Pemilu 2014.

Meskipun SBY tidak lagi akan menjadi calon presiden tahun 2014, calon dari luar sangat mungkin mengulang pengalaman yang terjadi saat ini. Dengan demikian, argumentasi Boediono dinilai sebagai sosok paling rendah resistensinya dibandingkan dengan calon lain terutama yang berasal dari partai politik menjadi tidak cukup kuat. Buktinya, begitu Boediono dipastikan sebagai pendamping SBY, sebagian besar partai politik yang sejak semula memberikan dukungan secara terbuka menolak Boediono.

Penolakan itu tidak hanya menyangkut penetapan, tapi juga menyangkut cara SBY menetapkan Boediono. Melihat cara SBY menetapkan Boediono, amat mungkin hal ini terkait dengan perubahan "komunikasi" Partai Demokrat dan PDIP. Jika benar, pilihan pada Boediono bukan pada alasan resistensi partai politik terhadap Boediono lebih kecil, tetapi lebih pada pilihan strategis untuk membuka ruang guna menjadikan PDIP sebagai bagian dari koalisi pendukung SBY.

Jamak diketahui, dari semua nama yang menjadi anggota kabinet, Boediono menjadi sosok yang paling mungkin dan tepat menjadi jembatan mengajak PDIP menjadi bagian dari koalisi besar yang (bisa saja) sedang dirancang menghadapi DPR Periode 2009-2014.

Memperkuat Sistem Presidensial

Meski SBY (dan Kalla) berhasil menang secara mencolok dalam Pemilu 2004, secara keseluruhan Pemilu 2004 hanya menghasilkan minority government. Menurut Jose A Cheibub (2002), minority government terjadi karena presiden (eksekutif) tidak mengontrol suara mayoritas di lembaga legislatif.

Pasalnya, partai politik pendukung awal SBY (yaitu: Partai Demokrat; Partai Bulan Bintang; serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) hanya mendapat dukungan 68 kursi (12%) di DPR. Karena itu, merangkul partai politik (termasuk Partai Golkar) menjadi pilihan yang terhindarkan.

Meski Partai Demokrat mampu meraih dukungan terbesar (baik suara secara nasional maupun jumlah kursi di DPR) dan sekiranya SBY juga berhasil memenangkan pemilu, Pemilu 2009 jelas menghasilkan minority government.

Untuk keluar dari jebakan minority government, dukungan dari sejumlah partai politik lain guna membentuk pemerintahan koalisi menjadi sebuah keniscayaan. Dalam konteks itu, pilihan atas Boediono bukan dalam pengertian memperkuat sistem presidensial, tetapi lebih sebagai antisipasi untuk menghadapi kemungkinan terjadinya perpecahan antara presiden dan wakil presiden.

Bagaimanapun, perpecahan yang terjadi antara presiden dan wakil presiden dapat memperlemah sistem presidensial. Sebagaimana yang terjadi saat ini, praktik sistem presidensial di negeri ini tengah menghadapi persoalan lain, yaitu eksekutif yang terbelah (divided executive).

Meskipun disinyalir sudah terjadi sejak beberapa waktu lalu, perpecahan sesungguhnya terjadi ketika SBY secara terbuka "menolak pinangan" Partai Golkar untuk menempatkan Kalla sebagai pendamping SBY. Dengan penolakan itu, sampai 20 Oktober mendatang, divided executive harus diterima sebagai sebuah kenyataan.

Sekiranya penguatan sistem presidensial dimaknai untuk tidak terulangnya divided executive sebagaimana terjadi saat ini, tidak salah memilih Boediono. Namun tetap harus diingat, jika mereka berhasil memenangkan pemilu, tidak ada jaminan bahwa tidak akan terjadi pecah kongsi antara SBY dan Boediono.

Barangkali, jika pecah kongsi terjadi lagi, posisi SBY (dan juga Partai Demokrat) jauh lebih kuat dibandingkan yang terjadi saat ini. Di samping itu, jika pemilihan Boediono juga dimaksudkan untuk menarik PDIP menjadi bagian dari koalisi besar (dengan PD, PKS, PAN, PPP, dan PKB) yang terjadi bukan memperkuat sistem presidensial. Dengan dukungan sekitar 73% kursi di DPR, praktik sistem pemerintahan sedang didorong memasuki gerbang rezim otoriter.

Sebagaimana dikemukakan Arend Lijphart (1994), jika partai politik pendukung presiden merupakan mayoritas di lembaga legislatif, maka sistem presidensial mudah terperangkap menjadi pemerintahan otoriter. Sekalipun model sistem pemerintahan di era Orde Baru tidak sepenuhnya menganut model sistem presidensial Giovanni Sartori, era tersebut berubah menjadi rezim otoriter karena Soeharto benar-benar menguasai kekuatan politik di lembaga legislatif.

Dalam sistem presidensial, rezim otoriter sulit terwujud jika perimbangan kekuatan antara eksekutif dan legislatif dapat dibangun dengan baik. Untuk menjaga agar pemerintahan periode 2009-2014 tidak terperangkap menjadi rezim otoriter, partai politik harus punya political will menjaga keseimbangan hubungan eksekutif-legislatif.

Menyongsong 2014

Terlepas dari berbagai kemungkinan dan kekhawatiran di atas, pilihan SBY atas Boediono tentu akan memperlancar terjadinya peralihan generasi pada 2014. Sebagai calon yang diperkirakan akan memenangkan pemilihan mendatang, berdasarkan Pasal 7 UUD 1945, pada 2014 SBY tidak lagi dapat dicalonkan sebagai presiden.

Sementara itu, Boediono mungkin sudah terlalu tua untuk mengajukan diri sebagai calon presiden. Dengan kondisi itu, tahun 2014 menjadi lebih terbuka untuk munculnya generasi baru. Masalahnya sekarang, seberapa mampu partai politik dan semua komponen mempersiapkan generasi baru menyongsong 2014.

Tanpa kesiapan dan desain yang terencana untuk memberi tempat bagi generasi baru, bisa terulang kembali, generasi tua menjadi enggan meninggalkan panggung kekuasaan. Karena itu, mari bersiap menyongsong 2014.(*)

0 komentar: